DERETAN pulau-pulau yang kini dikenal sebagai Negara Kesatuan Republik Indonesia, sejak dulu memang strategis. Situasi tersebut semakin bermakna ketika dunia dilanda Perang Dingin antara Blok Barat melawan Blok Timur sesudah Perang Dunia II berakhir. Blok Barat, dipimpin Amerika Serikat, pada setiap kesempatan berusaha membendung kemajuan pengaruh Blok Timur (termasuk juga paham komunisme) yang berada dalam kendali Uni Soviet.
Kebijakan itu dilakukan AS, setelah mereka kecolongan, karena sesudah AS dan Uni Soviet bersekutu dalam menggempur Jerman dan Jepang, justru pihak komunis yang memetik keuntungan, menguasai Eropa Timur, separo Jerman serta seluruh Cina daratan.
Dwight Eisenhower, pensiunan jenderal bintang lima, mantan Panglima Besar Sekutu di Eropa, tahun 1953 terpilih sebagai Presiden AS. Sejak hari pertama berkantor di Gedung Putih, Eisenhower yang lebih dikenal dengan panggilan Ike, merasa punya tugas menghancurkan komunisme.
Sedangkan untuk membendung pengaruh Cina komunis di Asia Tenggara, Ike dihadapkan kepada dilema. Apakah dia harus membiarkan Indonesia tetap bersatu, tetapi di bawah pengaruh komunis? Ataukah, memecah-belah negara tersebut, namun sebagian mungkin bisa dia tempatkan dalam kekuasaan nonkomunis?
Tentu saja, analisa di atas sekadar spekulasi.
Komunis belum berkuasa dan Indonesia masih berada di bawah pemerintahan Presiden Soekarno. Tetapi, melihat meluasnya pengikut PKI setelah Pemilu 1955, ditambah munculnya ajakan Bung Karno kepada PKI masuk dalam pemerintahan, dilengkapi kenyataan AS tidak bisa menjadikan Bung Karno sebagai bonekanya, Ike lebih suka merancang skenario memecah-belah Indonesia.
Bung Karno yang dinilai akan segera jatuh ke kubu pengaruh komunis, harus digoyang dan kalau mungkin dilengserkan. Kebijakan yang digariskan Ike tersebut segera dilaksanakan dengan bersemangat oleh dua bersaudara Dulles: Menteri Luar Negeri John Foster Dulles bersama Allen Dulles, Direktur CIA, dinas rahasia AS.
Maka, mulailah kebijakan meng-obok-obok Indonesia. Antara lain dengan mengalirkan dana, personel, berikut peralatan militer, menunjang pemberontakan PRRI/Permesta.
BUKU Feet of the Fire karya bersama Kenneth Conboy & James Morrison dengan rinci mengungkapkan operasi rahasia CIA dalam menggoyang kekuasaan Bung Karno tahun 1957-1958. Operasi militer itu berupaya menyingkirkan rezim yang sedang tidak disukai AS dan menggantikannya dengan penguasa boneka.
Ada dalil terkenal dari Menlu Dulles, "...jika Anda bukan rekan, pasti musuh." Dalam prespektif ini, dinas rahasia AS CIA pada khususnya dan juga pemerintahan Eisenhower pada umumnya, tanpa sadar justru meminjam taktik komunis, menghalalkan segala macam cara. Hal itu diperburuk oleh batasan luas tentang apa yang mereka sebut komunis. Ke dalam batasan itu kemudian tercakup semua kelompok kiri, gerakan revolusioner, dan juga kaum nasionalis yang tidak mau diajaknya.
Pada sisi lain harus dipahami, mengapa meletus pemberontakan PRRI/Permesta?
Isu yang dipakai untuk memulai pemberontakan adalah kurangnya perhatian pemerintah pusat di Jakarta kepada persoalan daerah. Arus besar pemikiran menentang Jakarta ini dilengkapi sejumlah sentimen pribadi, dan juga kekalahan politik pada Pemilu 1955.
Adalah sangat menarik untuk mengkaji Pemilu 1955. Sampai hari ini para pengamat tetap menyebutkan, itulah pemilu paling demokratis yang pernah terselenggara di Indonesia.
Perlu diingat, pada pemilu tersebut, untuk pertama kalinya PKI tampil sebagai partai terbesar keempat. Sementara kita tidak bisa melupakan, CIA sudah pernah memberikan dana rahasia sebesar satu juta dollar AS kepada salah satu partai peserta pemilu, sebagai upaya membendung kemenangan PKI.
Maka pertanyaannya, apakah dana rahasia dari CIA telah dikorup oleh para elite parpol bersangkutan? Ataukah, PKI lebih pandai dalam menjual gagasan, menawarkan ide serta memberikan impian, sehingga berhasil merebut massa dalam jumlah di luar dugaan?
Kemenangan dalam pemilu yang demokratis ini ternyata dijawab dengan aksi nondemokratis. Dengan dalih Indonesia tidak boleh dibiarkan jatuh ke kubu komunis, CIA segera melancarkan operasi rahasia dengan memanfaatkan munculnya pergolakan di daerah dan tampilnya sejumlah kolonel pembangkang yang kebetulan panglima militer di daerah bergolak.
Akhirnya, sesudah menelan korban ribuan orang tewas, baik pada rakyat biasa, para pemberontak dan juga tentara pusat, operasi rahasia CIA untuk mendukung pemberontakan PRRI/ Permesta mengalami kegagalan memalukan.
OPERASI tersebut mengerahkan sejumlah tenaga ahli CIA untuk memberikan latihan perang dan mendampingi pertempuran di Sumatera Barat dan Sulawesi Utara. Menyelenggarakan pelatihan di Saipan, mengalirkan perbekalan militer, menebar uang rupiah palsu, mengirim kapal selam, pesawat terbang dan juga para penerbang tempur. Bahkan, CIA merekrut para veteran perang asal Polandia, Taiwan, dan Filipina, untuk membantu memenangkan perang kotor mereka.
Dengan melakukan wawancara kepada para pelaku dari kedua sisi serta memanfaatkan beragam dokumen yang selama ini dirahasiakan, kisah petualangan CIA di Indonesia tampil lebih jernih. Buku ini juga menyoroti kemampuan tempur para pemberontak yang segera kedodoran meski memiliki persenjataan jauh lebih baik daripada pasukan pusat.
Terjadilah perpecahan antara para politisi sipil dan kaum militer di kubu pemberontak. Para politisi mencoba meneruskan perjuangan lewat aliansi dengan gerakan Darul Islam (DI) di Aceh dan Sulawesi Selatan dengan membentuk Republik Persatuan Indonesia (RPI). Sementara para pemberontak eks militer menolak kerja sama semacam ini, sebab beberapa tahun sebelumnya, mereka adalah penumpas gerakan separatis.
Secara plastis buku ini melukiskan AH Nasution yang sedang kekurangan pasukan, Ahmad Yani tidak punya peta pendaratan, dan Benny Moerdani yang belum pernah mengikuti latihan terjun payung. Dengan segala keterbatasan, mereka itu nekat menumpas pemberontakan.
Diulas juga tentang nasib tragis Kawilarang. Teman satu kelas Nasution ini tidak pernah berniat memberontak dan tak mau menerima bantuan CIA, tetapi di sisi lain dia tidak rela tanah leluhurnya dihancurkan.
Bahwa CIA berminat menggoyang Bung Karno memang bukan sekadar analisa. Tetapi, bagaimana mereka bisa leluasa campur tangan di Indonesia?
Jawabannya mungkin dilihat dari perundingan Ahmad Husein dan Ventje Sumual dengan Foster Collins, agen CIA di Singapura.
Sayang, buku ini tidak banyak menyinggung peran para politisi sipil pendukung pemberontakan. Satu-satunya yang dikisahkan agak rinci hanya peran Sumitro Djojohadikusumo. Tokoh ini bukan hanya ikut dalam pertemuan di Sungai Dareh (ketika para pemberontak merancang pembangkangan), tetapi dia juga yang aktif melakukan shopping persenjataan sejak dari Eropa Barat sampai Taiwan.
Kini, semua peristiwa dalam buku ini, tinggal menjadi sebuah catatan sejarah. Hikmah yang bisa dipetik adalah pelajaran bahwa setiap boneka, hanya akan bisa berkiprah kalau sedang dimainkan oleh sang dalang. Begitu pihak dalang, CIA dan Pemerintah AS menarik dukungannya, maka hari-hari akhir pemberontakan PRRI/Permesta tinggal dihitung dengan jari.
Tragisnya, kebijakan AS ternyata bisa berubah dengan mendadak.
sumber http://yangcocok.blogspot.com/2010/09/bukti-hebatnya-indonesia-mampu.html
Post a Comment